“Shhhh..”
Angin dingin mendesah lembut di balik jendela.
Saat itu, bulan
September baru saja merentangkan sayapnya yang ceria. Setahun dua bulan di
negeri sakura merupakan pengalaman yang sibuk dan penuh gairah bagi Ichi Lim.
Sibuk dengan kuliah, kerja paruh waktu, dan pengalaman-pengalaman baru di negara
yang diimpikannya dari kecil ini merupakan pengalaman yang menggairahkan bagi Ichi.
Terlalu banyak kesibukan. Terlalu banyak
semangat. Terlalu banyak mimpi. Terlalu banyak kebahagiaan dan penghargaan.
Kadang-kadang
kata-kata itu menghantui pikirannya. Dia berpikir mungkin suatu pagi dirinya
akan terbangun dan tiba-tiba kehilangan itu semua. Hal itu membuatnya terkadang
merasa sendiri dan putus asa di malam hari. Namun, dia adalah orang yang sangat
bersemangat mengejar mimpi. Dia orang yang ceria dan selalu mengingatkan
dirinya untuk berusaha sebaik-baiknya ketika Tuhan berbaik hati dan memberikan
jalan baginya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Oleh karena itu, dia mempelajari
banyak hal. Tentang alam dan kebudayaan Jepang, tentang teknologi yang mampu
menambah wawasannya, tetapi tidak terlalu berat, membandingkan hal-hal
sederhana seperti cara berpakaian atau menyapa orang lain, dan hal yang paling
disukainya adalah mempelajari tentang masakan-masakan Jepang yang sebenarnya
beberapa jenis tidak sanggup ditelannya karena terlihat mentah.hal itu
menyebabkan dia tidak memiliki waktu terbuang karena dia memiliki hal yang
diminati setiap waktu. Hal itu juga membuatnya melupakan kesendirian dan
ketakutan dalam dirinya.
Untuk
menyelesaikan laporan-laporannya, terkadang Ichi mempunyai senjata rahasia,
yaitu sahabat-sahabatnya yang berada di beberapa negara. Sama seperti dirinya,
mereka akan bersedia membantu jika Ichi memerlukan bantuan data maupun
dokumentasi foto dari Indonesia, Vietnam, atau Thailand. Hal itu membuat presentasi
kuliahnya terlihat lengkap dengan data-data dari situs atau badan resmi.
Jam
weker berdering. Gadis berambut panjang itu seketika terduduk dalam gelap.
Mengambil sikap diam dan mematung sejenak. Gadis yang sebenarnya sedang
melantunkan doa pribadi ini pun segera melipat selimut dan buru-buru mengambil
handuk.
Gadis
yang terlihat ceria itu mengeluarkan sarapan. Teman sekamarnya, Miko dan
Jesica, bergabung untuk sarapan hangat yang sudah menu wajib mereka karena
menjadi langganan dengan restoran kecil di bawah. Setelah memenuhi mapnya
dengan beberapa file dan cd bahan presentasi mereka berangkat dengan berjalan
kaki dan menaiki kereta yang menghantarkan mereka ke universitas Keio. Beberapa
saat kemudian, patung setengah badan Yukichi Fukuzawa menyambut mereka di depan
kampus. Wajah kaku itu selalu terlihat cerdas di mata Ichi, tetapi Ichi selalu
tidak ingin menatapnya terlalu lama. Karena menurutnya, dia belum sepercaya
diri tokoh pendidikan itu. Dan, menurutnya, itu berbeda. Hanya saja Ichi sendiri
tidak tahu menerangkan kalimat yang terakhir dan sama sekali tidak ingin
memikirkannya. Sambil menghirup udara segar, Ichi menarik tangan Jesica supaya
bergegas. “C’mon girls!” Miko
menyusul sambil menyetarakan langkah.
Sepertinya
hari yang cerah sangat mempengaruhi gadis imut itu. Presentasi kuliahnya
berhasil mendapatkan nilai sempurna. Resumenya yang memusatkan perhatian pada
penggunaan mercuri pada produksi emas dan cara penyajiannya yang menarik
membuat semua mahasiswa bertepuk tangan dan dosennya kagum.
Miko
dan kawan-kawan langsung mendekat untuk mengucapkan selamat. Mereka bergerak
menuju rumah makan yang sama untuk makan siang bersama. Dup tanpa nasi. Mereka
melewati Pancake shop karena beberapa
orang dari mereka tidak dapat hMereka memilih meja panjang untuk face to face lunch.
“Itadakimasu!”
Baru saja mengangkat
sendok pertama untuk memasukkan makanan ke dalam mulut, ponselnya berdering.
Dia segera bergegas ke luar untuk menjawab telepon dari adiknya.
Dia
tersenyum. Ada banyak hal yang ingin diceritakannya pada adiknya, juga pada
ibunya. “Hallo, Ra?”
Tidak
ada jawaban.
“Halo?
Ra?”
“Chi!
Ini aku Anita.”
Senyum
di wajah Ichi tiba-tiba menghilang. “Anita?” Ichi memandang layar ponselnya
dengan lebih teliti. “Bukannya ini nomor Rara?” keningnya sedikit berkerut.
“Hmm..begini.
bagaimana, ya, cara terbaik menyampaikannya?” Anita terdiam sejenak. Ichi
menanti dengan gelisah dan kurang sabar. Perasaannya tiba-tiba menjadi sangat
tidak enak. “ Terjadi banjir di sini. Lebih tepatnya banjir bandang… dan ibumu
sakit. Aku tidak ingin mengatakan ini, tetapi…”
Ichi merasa
tengkuknya dingin dan mengeras.
“Sebenarnya, aku rasa
keadaan ibumu sangat parah. Jadi, kamu bisa memikirkan apakah membawa pulang
semua barang-barangmu atau tidak. Yang pasti kamu harus segera pulang.”
“Tunggu. Separah
apa?”
“Sebenarnya, ibumu…”
“Ibu…” tenggorokannya
tercekat. “Ibu… maksudmu ibu telah…?”
“Ya. Kamu mengerti
maksudku.”
Ichi
merasa waktu terasa seperti khayalan. Tidak nyata. Seiring jarum jam yang terus
berputar, otaknya mulai mencerna kenyataan pahit itu secara perlahan. Kata-kata
Anita justru menyiratkan berita yang paling buruk yang berusaha ditolaknya
dalam hati. Cukup lama, Ichi terbengong dan tidak lagi menyadari di mana
sebenarnya dia berada. Ichi menggeleng-gelengkan kepala.
“Nit,
kamu bicara apa sebenarnya? Aku ga ngerti,” terdengar tangisan Anita di
seberang sana kemudian menjadi samar dan menghilang bagai mimpi. “Aku…serius.
Aku ga suka caramu bercanda.”
Mata
Ichi terasa pedas, tetapi dia tidak menangis. Hatinya sakit dan pedih, tetapi
dia belum menangis. Mungkin belum ingin. Atau, dia belum tahu ekspresi seperti
apa tepatnya yang harus ditunjukkannya di negeri asing ini. Baru saja dia dapat
pengakuan dan nilai terbaik dari dosen-dosennya, dia sudah kehilangan mimpinya.
Meskipun dia belum diwisuda, rekomendasi dosennya akan mampu membawanya bekerja
di perusahaan-perusahaan ternama sambil tetap melanjutkan kuliah. Jadi, selain
mendapat beasiswa, dia seharusnya dapat menghasilkan uang tambahan lebih banyak
dari tempat kerja paruh waktunya. Seharusnya, dia akhirnya bangga karena akan
mulai mengirim uang hasil keringatnya sendiri meskipun jumlahnya tidak banyak.
Apakah saatnya memikirkan itu? Ichi
memaki dirinya. Ketakutannya selama ini ternyata benar. Kehidupan yang singkat
di sini terasa palsu dan terlalu sempurna untuk dirinya yang hanya manusia
biasa.
Kini
Mereka yatim piatu. Ada tiga orang adik yang membutuhkan dirinya sebagai tulang
punggung keluarga. Dia, yang baru saja kehilangan orang yang paling berharga
dari dirinya sendiri, yaitu sang ibu.
Sesuatu yang lembut
dan dingin mengenai wajahnya. Ichi melihat ke langit dan menemukan butiran
salju pertamanya. Salju pertama yang begitu dinanti-nantikannya ternyata tidak
terasa menyenangkan. Salju yang begitu diimpikannya sejak kecil seperti rasa
lapar ternyata tidak mengenyangkan keinginannya. Salju ini melambangkan
kengerian. Pembunuh semangatnya. Saksi atas lunturnya kepercayaan diri seorang
gadis pemimpi seperti dirinya. Dan, dia kali ini merasa sangat, sangat
kesepian. Jauh lebih parah dari yang sebelumnya.
“Bu…
Ibu! “ bisiknya putus asa. Rasanya dia tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan
anggota tubuhnya.
Ichi
merasa kesepian di tengah-tengah keramaian. “Ibu..” dia mulai terisak.
“Ma…Uma!”
“Hei,
kamu baik-baik saja?” Seorang pria yang kebetulan lewat bersama seorang
temannya memungut ponsel Ichi yang tergeletak di antara butiran salju tipis dan
tanah lembab. Pria itu menduga bahwa gadis di hadapannya sama sekali tidak
mendengarkannya karena tidak ada respon yang terlihat. Baik dari ekspresi
maupun dari gerakan. Jadi, dia memutuskan untuk memasukkan ponsel itu ke
kantong sweater-nya.
“Ada
apa dengannya?”
Dia
hanya mengangkat bahu. “Entahlah.”
Ichi
mendengarnya. Dia bahkan tidak tahu bahasa apa yang digunakan kedua orang itu.
tetapi, dia mengerti. Dia tidak peduli. Kedua orang yang berpenampilan seperti
model itu pun tidak tahu harus mengatakan apa melihat gadis itu berjalan dengan
mata sembab, tetapi seakan kehilangan kesadaran. Sepanjang perjalanannya yang
tertatih di kereta dan berjalan kaki ke kamarnya, dia hanya mampu menangis dan
mengatakan dua kata. Ibu atau uma, yang merupakan kata lain dari ibu.
Kemudian, wajah adiknya bergantian memenuhi pelupuk bayangnya. Jadi, kami adalah anak yatim piatu sekarang.
Kalimat itu tidak luntur dari pikirannya hingga Miko dan Jesica
menemukannya tertidur di lantai.
“Ichi-san?”
Ichi tebangun dan
tidak mengatakan apa-apa. Miko dan Jesica sendiri tidak tahu. Mereka tidak
mampu memaksa Ichi bercerita saat melihat gadis itu berjalan seperti mayat
hidup. Dan tragisnya, dia tidak sempat bertemu dengan orang yang dicintainya
untuk terakhir kalinya.
Apa yang akan manusia perbuat ketika
Tuhan sudah menggariskan nasib?#OneDayOnePost
#EstrilookCommunity
#Day19