Aula dipenuhi
mahasiswa baru yang terlihat bersemangat dalam seragam pertemuan yang dibagikan
tadi pagi. Di sepanjang dinding, lampu-lampu terpasang serta ada spanduk besar
bertuliskan ucapan selamat datang. Di tengah-tengah ruangan, ada api unggun. Entah
bagaimana mereka melakukannya, Egata tidak begitu peduli. Dia hanya
menghabiskan malam dengan menatap sedih ke arah panggung yang penuh dengan
mahasiswa yang bergembira. Musik terdengar menyentak dan memukul-mukul hatinya
yang kosong dan mudah terluka.
Tidak ada yang luar biasa!
Egata merasa
kecewa dan hampir menangis. Matanya memandang sekeliling ruangan berulang-ulang
dan dia tetap merasa sendiri. Akhirnya,
pilihannya adalah permisi kepada panitia untuk kembali ke kamar asramanya
dengan alasan kurang enak badan.
“Kamu kenapa?”
si Komisaris kampus, Happy Hulu, pria
yang dia jumpai di gerbang saat pertama kali datang, bertanya dengan wajah
serius.
Egata
pura-pura berjalan dengan lemas dan berharap wajahnya akan kelihatan sangat
pucat sekarang.
“Dia merasa
kurang enak badan, Happy.” Perempuan yang memakai seragam panitia (blazer biru)
menjawab untuknya. Egata mengucapkan terima kasih dalam hati.
“Tunggu!”
Egata
pura-pura tidak mendengar dan terus berjalan. Tetapi, Happy mengejar dan
menghadang tepat di depannya.
“Ada apa?”
Happy tetap berdiri
di hadapan Egata.
“Coba
lihat. Apa kamu tidak merasa sedikit
pun kegembiraan sejak tiba di tempat ini?” suaranya pelan dan terdengar bijak.
“Tidak.”
“Aku takut
kamu juga tidak akan bertahan di sini. Lihat mereka yang tidak punya gairah
sepertimu, sebentar lagi mereka pasti akan keluar alias drop out. Jika ada yang bertahan, mereka hanyalah orang yang
bertekad kuat untuk melihat keajaiban. Aku tahu kamu pasti punya kemampuan itu.
saat di pemakaman itu, kamu dapat merasakannya. Kamu hanya tidak mau membuka
mata hatimu untuk hal-hal di sekitarmu.”
“Maaf Kak
Komisaris. Kepalaku tambah sakit.”
Happy menghela
nafas lalu menyingkir. “Baiklah. Kita ke apotek sekarang. Akan kutemani kau
hingga kembali ke kamar asramamu dengan selamat.” Egata tidak menjawab, tetapi
berjalan cepat diikuti Happy.
“Delapan
ribu,” penjaga apotek menyodorkan satu kotak obat sakit kepala.
Happy meletakkan
uang Rp 10.000 di atas meja kasir. “Terima kasih banyak,” katanya. Tetapi,
Egata tidak mau beranjak dan menatapnya dengan tajam.
“Aku bisa
membayar sendiri,” ujarnya.
“Oh, aku bisa
melihat kamu punya banyak uang sekarang. Mungkin kamu lupa kalau kamu dilarang
bawa tas mau pun dompet ke aula.”
Ah, Egata ingin
sekali menepuk jidatnya sendiri sebab yang dikatakan Happy benar. Egata tidak
membawa uang. Seragam ini tidak memiliki kantong sama sekali. Sekarang wajahnya
terasa panas karena malu.
“Mengapa
panitia membagikan seragam yang tidak punya kantong?”
Happy tertawa.
dia kemudian masuk ke kantin sekolah dan membawa beberapa botol susu kaleng
murni.
“Ini susu
murni. Kamu pasti suka. Ibuku selalu membeli susu ini jika aku sakit. Bahkan,
hingga sekarang pun masih seperti itu.”
“Aku tidak
bisa…”
“Kamu harus
menerimanya. Jika tidak aku tidak akan membiarkanmu masuk kamar.”
Happy menatap
Egata dan berbicara dengan tenang, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang
membuat Egata tidak mampu menolak. Dia menyerah dan menerima bungkusan itu. itu
adalah jawaban atas ultimatum halus Happy. “ Minumlah. Itu dari peternakan sapi
kita di sini.”
“Terima kasih.
Aku mau masuk ke kamarku.”
Kamar Egata
bukanlah istana dan bukan juga rumah orangtuanya yang semakin membesarkan
sepotong rindu yang mulai menyesak di dada. Kamar itu tidak indah, tetapi Egata
menganggapnya rumah. Bagaimana pun, selalu ada kelegaan dalam hatinya begitu
kakinya menginjakkan kaki ke dalam kamar dan puncak kepuasan batinnya adalah ketika
berhasil berbaring di atas tempat tidur. Itu terasa luar biasa! Ini seperti di
rumah.
Segera setelah
merebahkan diri sejenak, Egata merasa lebih baik. tangannya segera meraih
ponsel. Ibu, dia ingin menelepon ibunya. Dia ingin mengatakan bahwa dia ingin
pulang lalu ibu akan sangat senang.
“Ibu, aku
merindukan kalian.”
“Ibu juga
Gata! Apakah menyenangkan?”
Egata terdiam.
Yang terlihat olehnya selama di sini adalah kesendirian, kebosanan, dan
kesedihan setiap kali melihat makam. Entah apa yang dimaksud dengan keajaiban
di sini. Egata sungguh percaya keajaiban. Setidaknya dulu begitu sebelum
kehilangan Junior.
“Gata?”
“I…iya, Bu?”
Kali ini,
ganti ibu yang terdiam. Tidak ada suara, tetapi Egata tetap menanti ibu bicara.
“Gata,
apa…apakah kamu bahagia di sana? apakah kamu masih sedih? Kalau kamu tidak
suka, kamu boleh pulang. Jangan pikirkan apa-apa!”
Egata merasa
tidak sanggup harus membuat khawatir ibunya lagi. Egata memaksa dirinya
menjawab dengan gembira, “Ibu bicara apa? Aku ke sini bukan untuk bersedih.
Segala sesuatu yang ada di sini masih baru bagiku. Jika aku tidak kerasan, aku
akan segera pulang, Bu! Jangan pernah mengkhawatirkan aku lagi, Bu!”
“Apa kamu
sungguh-sungguh?”
“Sebentar
lagi, Bu! Aku akan mencari cara ke Macazar.”
Semua ini
membosankan, tetapi Egata merasa tidak boleh pulang dengan tangan kosong.
Junior berjuang mati-matian memasukkannya ke kampus ini. Jadi, pasti memang
dari sinilah kunci masuk ke Macazar. Ijazah! Ya, harus memperoleh ijazah.
Egata
tiba-tiba menepuk jidat. “Aku kok tidak sadar tadi ada yang aneh? Peternakan
sapi? Aku tidak melihat ada peternakan sapi di sini?”
#OneDayOnePost
#EstrilookCommunity
#Day 13
0 comments:
Post a Comment