TIGA
Menjelang
tengah hari, ruangan pekuliahan dipenuhi berbagai aktivitas yang sedang
berlangsung. Dosen mempresentasikan sesuatu. Egata mendengarkan.
“Di pegunungan
itu tinggal komunitas-komunitas…”
Egata menahan
kantuknya sambil sesekali mencubit dirinya diam-diam.
“…Macazar…”
Lamunannya
tiba-tiba buyar.
Tunggu! Apakah dosen kami baru saja menyebut nama
Makassar?
Di layar putih
itu terpampang nama Macazar. Hanya beberapa detik. Setelah itu, tulisan itu
menghilang dan digantikan topic yang baru.
Macazar, ya? Bukan Makassar, pikir Egata.
Otomatis
kantuknya hilang. Telinga serta seluruh inderanya dipusatkan ke depan menunggu
Macazar disinggung lagi. Akan tetapi, hingga perkuliahan selesai, tidak ada
lagi yang meenyinggung kata Macazar.
“Apa tadi katanya?”
Mahasiswa yang
ditanyai oleh Egata mengangkat bahu. “Entahlah. Aku tadi kurang konsentrasi.”
Macazar!
M-a-c-a-z-a-r! Tidak apa-apa. Ini artinya Macazar itu nyata. Egata ingin
menanyakan itu khusus kepada dosennya. Nanti, saat ada kesempatan untuk menemuinya
dan bicara empat mata.
Egata kembali
ke kamar. Setelah mengetik selama sekitar satu jam, dia bergegas kembali lagi
ke ruang perkuliahan. Ketika melewati ruang perpustakaan, gadis itu segera
masuk dan mengangkat setumpuk besar buku-buku yang diperlukan. Kemudian, hampir
seluruh buku dibuka bersamaan. Selanjutnya, tangannya sibuk mencatat.
Sedikit demi
sedikit, seiring berjalannya waktu, Egata mulai berubah. Atau, suasana kampus
itu yang berubah? Pemberontakan dalam dirinya mulai hilang. Hari-harinya tidak
luput dari rasa jenuh, tetapi perasaan itu mulai hilang perlahan seiring
rutinitasnya yang mulai padat dan semua itu diikuti tanpa absen.
Egata kini
berambut pendek dan terihat sangat kaku dan dingin. Dia bahkan tidak sempat
menyadari perubahan dirinya. Sungguh gadis periang itu telah tenggelam dalam
kesibukan dan ketidakpeduliannya sendiri. dalam sekejap, dia menjadi robot
milik dirinya sendiri dengan tidak yakin apa yang sebenarnya dicari olehnya.
Happy.
Lelaki itu
menoleh padanya. Pria yang menarik! Sayangnya saat ini, di tengah kesibukan
Egata yang tidak ingin diganggu, pria itu hanya seorang pengganggu. Huff!
EMPAT
Pria itu,
Happy Hulu, selalu bertanya, kamu kemana
saja mengapa tidak ikut belajar? Mengapa tidak ikut ujian? Mengapa tidak mau
melihat keajaiban sebenarnya yang tidak ada di sekelilingmu?
Egata kesal jadi selalu menghindarinya. Egata juga
mencari anjing peliharaannya. Anjing dari Jun, Jun yang manis. Egata mencari
sambil menghindar dari Happy sehingga masuk ke sebuah ruangan sempit. Ruangan
sempit yang memiliki tempat duduk dan kursi, juga makanan. Aneh sekali. apakah
ini kantin? Tempat sekecil ini?
Seseorang tiba-tiba memasuki tempat itu
dengan bersiul-siul. Seorang perempuan. Egata tahu dia adalah teman satu kelasnya.
Tetapi, Egata tidak pernah bicara dengannya. dia tidak pernah tahan berada di
ruangan kelas. Siapa yang memilih sekolah ini? Jun! Siapa yang mengatakan
sekolah ini penuh keajaiban dan petualangan? Jun. Lalu di mana dia sekarang? Pergi entah ke mana. Ke tempat yang tidak pernah bisa ditemukan ole Egata.
“Hai!”
“Hai”
Dua orang masuk, mengambil makanan lalu menggesek kartu
mereka ke mesin pembayaran.kemudian serombongan orang masuk. Wah, tempat ini
akan penuh. Egata lalu melihat pria itu di antara mereka.
Ah, pintu ke mana ini?"
“Kamu benar-benar belum pernah ke mana-mana sejak kita
datang ke sekolah ini?”
“Apa yang mau di lihat di sini? Sekolah kecil, sumpek,
dan aneh seperti ini apa yang mau di lihat?”
“Kamu benar-benar tidak membuka hatimu berada di sini.
Ini Negeri keajaiban!” bisiknya sambil menoleh ke kiri dan ke kanan dengan penuh
waspada.
Apa? Egata mencoba mencerna kata-kata itu dalam benaknya. Makassar?
Itukah maksudnya?
“Aku berasal dari Macazar, negeri keajaiban. Suatu saat,
aku akan mengajakmu ke sana.” Aku ingat kata-kata Jun.
Ini Makassar? Egata tidak mengerti. Tidak ada yang
mengatakan padanya bahwa inilah negeri Makassar, dan negeri penuh keajaiban. Di
mana? Egata bingung.
“Makassar. Aku tidak mengerti. Aku pernah dengar, tetapi
semua yang kudengar terlalu indah.”
“Karena kamu tidak ingin melihat. Kamu hanya ingin
mengurung dirimu!”
` Karef kini berdiri di sebelah Egata sementara rombongannya
keluar dari pintu kecil di kantin itu. mau ke mana mereka?
“Mau ke mana mereka?”
“Nah, selama ini apa kamu pernah ingin tahu ke mana saja
semua orang pergi?”
“Ke mana?”
“Hanya orang-orang yang percaya keajaiban yang dapat
melihat Macazar. Dan, hanya orang-orang seperti itu yang didatangkan ke
sekolah ini. Karena itu, sebagai komisaris selalu mengawasimu dan berpikir ada
sesuatu yang salah denganmu."
“A…APA?"
“Coba LIHAT APA YANG TERDAPAT DI BALIK PINTU ITU!”
Egata membuka pintu dan terkejut ternyata ada ruang terbuka
yang luas di luar. Ditutupnya lagi pintu itu. “Yah, ternyata di luar ada ruang
terbuka yang luas.” Egata mengangkat bahu dengan sikap acuh tak acuh.
“Apa lagi?” pancingnya dengan sabar.
“Rumah-rumah.”
“Apa lagi?”
“Sudahlah. Aku lagi banyak tugas. Jangan pancing aku
marah?”
“ Untuk apa aku memancingmu? Kamu bukan ikan lho. Kamu
temanku.”
Mau tak mau Egata tersenyum.
“Apa lagi?” tanyanya.
“Oke, biar puas. Pohon, rumah, taman, kerbau, kuda,
da-nau….” Suaranya terbata karena tidak yakin dengan yang baru dikatakan oleh mulutnya sendiri. Benarkah aku baru mengatakan kuda dan danau?
Iya, aku memang melihatnya tadi. Sejak kapan ada di sana? Egata menatap sang
komisaris dengan tatapan menuntut penjelasan.
Komisaris nyengir
kuda lalu menggeleng-geleng kepala. “Berarti kamu memang bisa melihat tetapi
tidak mau melihat. Kalau orang yang tidak percaya keajaiban biasanya hanya akan
melihat tembok kosong di balik pintu itu.”
“Dari mana kamu tahu?’
“Karena ini adalah Macazar. Negeri macazar.”
“Makassar!” Egata mengulang-ulang nama itu dengan
terbata.
“Macazar. Bukan Makassar Gata. M-a-c-a-...”
“Iya. Aku tahu. Sejak lama aku sudah memimpikan tempat
ini.”
Komisaris menarik tangan Egata pelan. Pintu itu
dikuakkan sedikit lalu segera ditutup lagi. Ada suara ribut-ribut di luar. Suara
ribut apa itu?
Egata mengintip ke luar. Tiga orang sedang berjalan mendekat lalu seekor hewan cokelat melesat ke arah mereka. Dua orang segera bergabung dengan kelompok Egata yang masuk lagi ke ruangan dan seorang lagi berlari lalu menghilang ke balik tembok.
“Itu tadi Bison?”
Rasanya tidak percaya. Komisaris mendorong Egata keluar. Matahari bersinar keemasan dengan rumput dan danau kecil. Iya,
itu danau dan rusa-rusa sedang minum di pinggir danau. Jerapah mencari makan di
antara pepohonan.
“Luar biasa.”
Egata tidak bisa menyembunyikan rasa kagum dan
terharunya.
“Oh, Ibu. Ini benar-benar Makassar! Ini sungguh-sungguh
Makassar yang diceritakan Jun ibu! Aku
tidak percaya kalau aku sudah berada di Makassar selama ini. Semua ada. Semua
yang diceritakannya ada bu, hewan-hewan liar ini, angsa-angsa, matahari.
Padang. Dan danau. Aku akan memotretnya dan mengirimkan kepada keluargaku.”
Komisaris tertegun,”Kamu menangis?”
“Maaf. Tetapi rasanya bahagia sekali karena aku telah
menemukan Makassar. Tempat ini penting bagiku.”
Komisaris terdiam seakan sedang memikirkan sesuatu.
Seekor anjing lewat mengejar seekor kelinci.
Ah, itu anjingku.
Kami mengejar. Lalu kami melihat tempat pemerahan susu
sapi murni. Anjingku di sana dan duduk di bawah kaki seorang pria. Itu kepala
sekolah. Komisaris memberi hormat lalu aku juga. Ternyata di sini kepala
sekolah tidak galak. Aku bertanya mengapa anjingku begitu nyaman berada di
tempat kepala sekolah. Lalu, kepala sekolah mengatakan bahwa anjing ini sangat
senang pulang ke rumah.
Aku menatapnya cukup lama. Ya, anjing ini memang berasal
dari Makassar.
Tetapi, Bagaimana mungkin kepala sekolah dapat menyuruh anjing ini
melakukan sesuatu dan mengetahui namanya?
Lalu Egata melihat topi yang dikenakan kepala sekolah. Lalu sebuah
sweater rajutan. Mirip dengan yang dikenakan Jun. Kepala sekolah menyapa lalu menyuruh mereka masuk untuk menemui pembuat
topi dan rajutan itu, tetapi, di ruangan itu, Egata menemukan hal yang tak kuduga-duga.
"Mengapa ini...? Ini kan?"
Egata tertegun. Lidahnya terasa kelu menemukan foto Jun tertempel di dinding rumah itu. Apakah kepala sekolah dan Jun...? Apakah...?
Banyak hal tentang Jun benar-benar ada di ruangan ini. Di atas lemari kaca itu ada semua kenangan yang dia perlukan untuk mengenangnya. Sketsa yang Egata buat, kartu natal, surat, album foto, kaset, bahkan kuntum mawar yang sudah mengering. Gadis itu memenuhi dirinya dengan pertanyaan yang tidak bisa dia jawab sendiri.
“Aku sudah menunggumu sekian lama."
Egata mencari sumber suara. Saat itulah air matanya tidak mampu lagi dibendung.
#OneDayOnePost
#EstrilookCommunity
#Day 14
0 comments:
Post a Comment