Sayap Kecil Itu


Mengapa?
Sepertinya pertanyaan ini butuh jawaban, tetapi aku tidak memilikinya. Tidak ada seorang pun yang memilikinya kecuali Sang Pencipta. Akan tetapi, beranikah aku mempertanyakan rancangan-Nya? Lagipula pertanyaanku sangat banyak. Ratusan, ribuan, bahkan jutaan mungkin? Ah, kurasa tidak terhingga. Namun, setiap kali aku mengizinkan hatiku bertanya,aku hanya semakin terluka dan seperti kehilangan harapan.
***
Begitu membuka mata, Riana bergegas ke dapur lalu sibuk membantu Lastiur, anak gadisnya. Hari ini dia akan mengikuti ujian tengah semester (UTS). Lastiur sampai mewanti-wanti dari tadi malam bahwa dia harus segera berangkat pagi ini. Selesai sarapan, Riana langsung menyuruh Lastiur berangkat ke sekolah tanpa membersihkan meja makan lebih dulu.
“Aku juga berangkat, Ma,” Farel muncul tiba-tiba sambil menyandang ransel hitam tipis.
Riana menyodorkan uang yang disambut Farel dengan senyum. Farel segera keluar karena angkot langganan setiap hari senin dan kamis itu sudah menunggu di depan rumah.
Dia tersenyum?
Riana melemparkan lap tangan yang dipegangnya. Rasa marah menggerogoti kepalanya. Riana ingin marah dan memaki. Tetapi, kepada siapa? Farel? Ah, tidak. Anak itu, Farel, tidak salah apa-apa. Riana mencintainya. Sangat mencintainya. Tetapi, mengapa marah? Dan kecewa? Atau, sakit?
Riana ingin menangis, tetapi agaknya air mata sudah lama mengering di pelupuk matanya. Selalu seperti ini! Merasa sakit, tetapi juga merasa tidak berdaya.
Usai merapikan meja, Riana merapikan sisiran Adit.
“Yuk, Mama antar kamu, Dit!”
Adit menuruti ajakan mamanya sambil memakai ranselnya yang usang dan kebesaran.
Riana mengantar Adit ke sekolah dasar dekat rumah lalu langsung menaiki angkot dengan ongkos seribu rupiah. Biasanya Riana akan memilih berjalan kaki, tetapi hari ini terlalu terlambat untuk melakukan itu.
“Wah, kamu hebat. Hahaha.”
Riana begitu risih dengan tawa itu. Apakah pantas tertawa terbahak-bahak seperti itu di angkot yang sesak ini?
 “Hmm…kalau begitu nanti jemput aku, ya!”
“Cetak undangan di sana juga?”
“Iya. Foto prewed kita ‘kan di sana juga? Biarlah sekalian. Supaya lebih murah sedikit karena paket.”
Si gadis tersenyum sambil mengangguk.
Mereka akan menikah, pikir Riana. Kapan aku terakhir kali tersenyum bahagia seperti mereka? Dulu, Ruhut, suami Riana juga seperti itu. Sekarang? Ah, Riana membuang muka. Berusaha tidak peduli dengan pasangan di sebelah kanannya.
“Oh, Jadi anakmu masuk perguruan tinggi negeri? Hebat! Jempol sama, Mbak!”
“Iya, di perguruan tinggi X.”
Anakku juga, Anakku bahkan di kampus Y, kampus yang katanya nomor satu di Indonesia. Riana membanggakan diri dalam hati. Riana teringat anak pertamanya yang pintar, ganteng, ramah, dan sangat bertanggung jawab dalam keluarga. Tiba-tiba, Riana ingin menangis. Menangisi hidupnya. Menangisi nasib anaknya yang malang, Farel.
\”Aneh, mengapa angkotnya lambat sekali?” keluh Riana. Sontak beberapa orang menatap aneh ke arahnya. Untunglah, saat itu juga, mobil berhenti.
Setelah yakin, angkutan umum itu telah jauh, barulah Riana menoleh ke belakang.
***
Sepekan sebelum hari kemerdekaan, kantor kecamatan sibuk dengan banyak kegiatan. Riana dan Ibu-ibu yang lain merapikan taman bunga sedangkan para bapak pegawai  sedang membuat pigura di gerbang masuk.
“Brumm.”
Riana tidak begitu peduli dengan siapa yang datang. Riana sibuk dengan pekerjaannya. Dan lamunannya. Yah, apalagi? Hari-harinya belakangan ini terasa tidak nyata, kecuali saat bersama si kecil, Adit.
“Eh, sudah datang? Sudah sehat, ‘kan? Duduk saja dulu! Jangan terlalu capek.”
Riana menoleh. Oh, itu Mida diantar oleh sang suami. Riana ikut menyalami Mida. Secara khusus, dia berharap hari berlalu cepat agar dia segera menjemput anaknya dari sekolah dan pikirannya teralihkan dan bersemangat.
“Bzzzt.”
Ada getaran di ponselnya. Riana menjauh sebentar.
“Ma, aku sudah dapat kerjaan di sini. Dekat dengan rumah sakit. Jadi, aku bisa langsung datang kalau ada sesuatu.”
Riana menghela nafas. “Kamu meninggalkan pekerjaanmu di sana untuk ini? Bukankah kamu berencana mengumpulkan uang untuk biaya kuliahmu?”
“Ma, kita sudah bahas ini di rumah tadi malam. Kita sudah membahas ini seminggu lebih. Ini keputusanku, Ma. Aku tahu Mama peduli padaku. Tetapi, Mama tidak boleh menyerah seperti ini. Kalau kita semua menyerah, siapa yang akan memberi semangat? Ma, aku tahu Mama sebenarnya sangat menyayanginya. Kita semua menyayanginya. Mama sebenarnya hanya sedih dan takut. Iya, kan Ma? Dia anak kesayangan Mama. Mama sering mengatakan dulu kebanggaan Mama padanya sampai-sampai aku dan Lastiur iri. Kami…”
Riana memutus telepon. Riana merasa sangat sakit dan sesak dalam dadanya. Tapi, apa yang harus dia lakukan agar semua terasa lega?
Menyibukkan diri!
Riana bergabung dengan rekan-rekan kerjanya yang rupanya sedang beristirahat sejenak.
“Iya, aku dibius total.”
“Dokter Tino?”
“Bukan. Dokter Rosa. Kami pindah dokter.”
“Mengapa?”
“Kejam sekali dokternya. Kata-katanya pedas sekali. Masa janin kami dibilangnya sampah?”
 “Maksudnya?”
“Sebelumnya, aku kan pendarahan? Suamiku nanya, bagaimana dengan janin kami yang di dalam. Si dokter bilang “ Kalian kalau memasak di dapur, sisa-sisanya seperti kulit bawang dan sampah-sampah lainnya diapakan?’ Kami berdua tidak menjawab. Sepertinya kami tahu pertanyaan itu mengarah ke mana. Tapi, kok kami marah banget dan mau menangis ya. Si dokter bertanya lagi, “diapakan? Ya, dibuang.’ Waduh, diucapkan pula. Aku sama suami diam saja tapi dalam hati sangat marah dan tidak terima dokter bilang janin kami sampah. Kami minta waktu dulu untuk berpikir sebelum mengikuti kata dokter Tino untuk dikuret saat itu juga. Sebenarnya setelah keluar dari ruangan dokter saya dapat melihat kemarahan dan kekecewaan suami sama dengan yang saya rasakan. Kami pindah dokter. Dokter Rosa bilang janinnya masih kuat. Diberi obat penguat kandungan dan diberi vitamin. Kami datang tiga minggu kemudian. Janinnya tidak berkembang.”
“Dikuret?”
“Belum.” Mida terlihat sangat sedih dan mau menangis. “ Sebenarnya, dokter memberi waktu satu minggu lagi. Tiga hari sebelum USG lagi, kami berdua berdoa secara khusus dan berbicara dengan janin, entah sudah boleh disebut janin atau tidak, di perut kami. Saat itu aku bilang, “Nak, kalau kamu memang ingin bersama dengan kami berkembanglah, bertambah besarlah.’ Setelah itu kami menangis dan sepakat untuk ikhlas dengan hasilnya. Ternyata, tiga hari kemudian ukurannya bertambah, tetapi sedikit sekali. sangat jauh dari ukuran normal. Kami bingung. Dokter bilang sangat berisiko sebaiknya dikuret karena akan sangat berisiko. Harapan kami yang sempat muncul, hilang kembali. Di satu sisi, kami ingin mempercayai dokter. Di sisi yang lain, kami takut berdosa karena ukurannya bertambah meskipun kecil sekali. akhirnya, kami menuruti kata dokter atas saran mama dan ibu mertua. Malam sebelum dikuret aku dan suami menangis dan berterima kasih karena janin itu menunjukkan rasa cintanya kepada kami meskipun tidak bisa bersama kami. Dia menunjukkan perkembangan walaupun sedikit.”
“Yang sabar, ya.” Pita mengelus punggung Mida untuk memberi dukungan.
“Harusnya kalian mendengar kata dokter Tino. Toh, dikuret juga akhirnya, kan? Selama sebulan menunggu sia-sia juga.”
“Tidak ada yang sia-sia.” Mida marah mendengar ucapan sarkas dari Riana. “Kami bersyukur dia bertahan hingga dapat bersama kami lebih lama. Kami bersyukur bersamanya walaupun hanya tiga bulan. Kamu tidak punya hati dan tidak tahu bersyukur.”
“Kamu tidak tahu apa yang kurasakan,” kata Riana tajam.
“Oh, iya? Kamu orang yang tidak tahu bersyukur. Anakmu kamu terlantarkan. Setelah sakit kamu buang.”
“Sudah-sudah!”
“Buang? Aku membuang anakku?”
Mida seperti tersadar sudah mengatakan hal-hal yang buruk, tetapi dia sedang sedih juga. Wanita berambut pendek itu bangkit dari tempat duduk dan mengikuti ibu-ibu yang lain masuk ke ruangan.
“Benarkah aku tidak bersyukur dan telah membuang anakku?”
Riana tiba-tiba teringat anaknya. Teringat kejadian itu.
“Ma, telepon dari abang,” kata Lastiur.
“Hallo!”
“Mama sehat?”
Raiana teringat saat Farel menang perguruan tinggi negeri (PTN) favorit. Farel mulai belejar di kota berbeda. Siapa yang tidak bangga? Riana rela meskipun harus mengutang untuk membayar biaya keberangkatan Farel. Sebagai ibu tunggal, Riana juga harus membiayai tiga orang anaknya yang lain sendirian. Hal itu yang membuatnya harus mengerjakan banyak kerja sampingan. Bayangan kejadian satu setengah tahun yang lalu kemudian membekas diingatannya. Saat itu Desy, anaknya nomor dua,  baru saja menyusul abangnya ke sana. akan tetapi, Desy mendapat tawaran kerja bagus dari salah satu keluarga. rencananya Desy akan kuliah setelah abangnya lulus. Akan tetapi, kenyataan berkata lain.
“Ma, Abang sakit.”
“Sakit?”
“Pingsan. Abang tiba-tiba pingsan, Ma.”
Saat itu, Riana selalu berusaha untuk kuat. Bekerja, mengurus anak-anak, mengurus pengobatan anak sulungnya. Akan tetapi, cahaya itu semakin redup setelah menyadari penyakit anaknya bukannya membaik, malah bertambah buruk.
 “Eh, mengapa aku naik angkot ke arah rumah sakit?” Riana terkejut menemukan dirinya tergerak tanpa sadar ke tempat anaknya sedang berobat. Dengan langkah pelan, Riana memasuki rumah sakit, tetapi tidak berani menjumpai anaknya. Riana memilih duduk di ruang tunggu bagian pendaftaran.
Anehnya, hari ini Riana merasa ditegur sebanyak dua kali. Seorang Ibu yang tiba-tiba duduk di sebelahnya bertanya sedang apa dia di rumah sakit. Dia pun mengatakan menjumpai anaknya yang sedang cuci darah. Si Ibu di sampingnya pun mulai bercerita mengenai anaknya yang kini sedang koma karena kanker darah. Dulu dia sangat rajin mengantar anaknya cek darah setiap 3 hari, suntik tulang sumsum untuk mengetahui persen kanker apakah berkurang atau tidak, membeli obat. Berharap ada muzizat untuk kesembuhannya.
“Ibu tidak menyerah?”
“Hampir menyerah. Tetapi keinginan menyerah itu kubuang jauh-jauh karena anakku sangat berharga bagiku. Merupakan sebuah muzizat juga dari Tuhan saya masih memilikinya sampai sekarang. 9 tahun yang luar biasa. Walaupun hanya seperti ini, aku ingin terus melihatnya dan mungkin suatu saat dia terbangun dan menmanggil mama lagi. Anakku itu hebat! Masih kecil sudah sanggup menghadapi hal sebesar ini. Saya harus lebih kuat dan menjaganya karena aku Ibunya.”
Riana tenggelam dalam pikirannya sendiri. Riana seakan-akan sedang diberi pelajaran berharga. Apakah dia sanggup menemui anaknya lagi?
”Sudah, Pa?” Ibu tersebut berdiri. “Maaf, Bu, kami duluan ya?”
***
            “Sudah mau berangkat?”
            “Iya.”
            “Sarapan dulu. Sudah ibu siapkan di meja.”
            Farel berdiri mematung. Ibunya tahu Farel terkejut. Apalagi di meja tersedia makanan kesukaan Farel lengkap dengan susu dan buah yang tidak pernah lagi disediakan untuknya.
            “Sini. Makan dulu. Ibu kan mau ikut. Ibu ganti baju dulu.”
            “Tapi,…”
            “Sudah! Tunggu saja. Sita sedang tidak bisa mengantar kan?”
            Si Ibu segara masuk ke kamar. Dia mulai menangis. Tentu dia terlihat aneh bukan? Seperti orang asing?
            Seseorang tiba-tiba merangkulnya. Si Ibu menyembunyikan tangisnya.
            “Maafkan aku Bu menyusahkanmu.”
            “ Tidak, Nak. Maafkan Ibu karena… karena…” Tangis Ibu pun meledak.
            “Tidak, Ma. Aku baik-baik saja. Terima kasih karena seperti ini saja pun aku sudah senang. Aku bisa berangkat sendiri, kok. Lagi pula Desy bekerja dekat rumah sakit. Mama perhatikan adik-adik saja.”
            “Ya, sudah. Hati-hati!”
            Farel tersenyum. Dia melangkah dengan hati gembira. Riana baru sadar sudah lama Farel tidak seriang ini. Riana menghela nafas.lalu langsung bergerak untuk segera membereskan rumah dan membantu adik-adik Farel untuk bersiap berangkat ke sekolah. Setelah itu, Riana tidak membuka toko seperti biasanya. Disiapkannya makanan di atas meja dan segala sesuatu yang mungkin diperlukan anak-anak nanti di rumah. Setelah itu, Riana segera mandi, memakai pakaian bepergian, tidak lama kemudian sudah berdiri di pinggir jalan menunggu angkot.
***
            Riana mengintip sedikit dari jendela kaca. Farel berbaring lemah dengan tempat tidur agak dinaikkan. Dia terlihat hitam dan pucat. Selang panjang yang tertancap ke tangannya terhubung dengan mesin dengan roda yang berputar-putar dan dihubungkan dengan jerigen besar. Cairan merah mengalir melalui selang transparan itu. Apa itu? Darah? Farel terlihat pucat, kurus, dan hitam. Astaga! Farel berbincang dengan Desy dan seorang pria yang tidak Riana kenal sambil tersenyum. Sesekali mereka tertawa.
            Dia masih orang yang sama. Anakku yang kucintai. Aku tidak boleh berubah baginya. Aku haruslah tetap seorang Ibu yang mengasihi dan melindunginya. Pangeran kecilku. Akan kuambil kesempatan ini. Tidak akan kubiarkan dia merasa sendirian dan jatuh. Sayap kecilnya yang dulu selalu terbang dengan  bangga akan kulindungi dengan sayapku yang besar. Akan kubantu dia dalam melawan penyakitnya. Akan kuhabiskan waktu sebanyak mungkin dengannya. Akan kuberi tahu seluruh dunia bahwa aku mencintainya.
            Riana sekali lagi memandang anak yang dikasihinya. Perasaan sedih, sakit, bahagia, terharu, menyesal, dan cinta menyatu dan hampir membobol tabungan air matanya. Riana menahan semua. Perasaan itu berubah menjadi semangat dan gairah baru.
“Anakku! Mama ada di sini.”
           
# One Day One Post
#Estrilook Community
#Day 4
# Second Chance Nubar

0 comments:

Post a Comment

About Me

Seorang ibu muda, guru, penulis
Powered by Blogger.