The Prince of Macazar (Bag. 2)




Aula dipenuhi mahasiswa baru yang terlihat bersemangat dalam seragam pertemuan yang dibagikan tadi pagi. Di sepanjang dinding, lampu-lampu terpasang serta ada spanduk besar bertuliskan ucapan selamat datang. Di tengah-tengah ruangan, ada api unggun. Entah bagaimana mereka melakukannya, Egata tidak begitu peduli. Dia hanya menghabiskan malam dengan menatap sedih ke arah panggung yang penuh dengan mahasiswa yang bergembira. Musik terdengar menyentak dan memukul-mukul hatinya yang kosong dan mudah terluka.

Tidak ada yang luar biasa!

Egata merasa kecewa dan hampir menangis. Matanya memandang sekeliling ruangan berulang-ulang dan dia tetap merasa sendiri.  Akhirnya, pilihannya adalah permisi kepada panitia untuk kembali ke kamar asramanya dengan alasan kurang enak badan.

“Kamu kenapa?” si Komisaris kampus,  Happy Hulu, pria yang dia jumpai di gerbang saat pertama kali datang, bertanya dengan wajah serius.

Egata pura-pura berjalan dengan lemas dan berharap wajahnya akan kelihatan sangat pucat sekarang.

“Dia merasa kurang enak badan, Happy.” Perempuan yang memakai seragam panitia (blazer biru) menjawab untuknya. Egata mengucapkan terima kasih dalam hati.

“Tunggu!”

Egata pura-pura tidak mendengar dan terus berjalan. Tetapi, Happy mengejar dan menghadang tepat di depannya.

 “Ada apa?”

Happy tetap berdiri di hadapan Egata.

“Coba lihat.   Apa kamu tidak merasa sedikit pun kegembiraan sejak tiba di tempat ini?” suaranya pelan dan terdengar bijak.

“Tidak.”

“Aku takut kamu juga tidak akan bertahan di sini. Lihat mereka yang tidak punya gairah sepertimu, sebentar lagi mereka pasti akan keluar alias drop out. Jika ada yang bertahan, mereka hanyalah orang yang bertekad kuat untuk melihat keajaiban. Aku tahu kamu pasti punya kemampuan itu. saat di pemakaman itu, kamu dapat merasakannya. Kamu hanya tidak mau membuka mata hatimu untuk hal-hal di sekitarmu.”

“Maaf Kak Komisaris. Kepalaku tambah sakit.”

Happy menghela nafas lalu menyingkir. “Baiklah. Kita ke apotek sekarang. Akan kutemani kau hingga kembali ke kamar asramamu dengan selamat.” Egata tidak menjawab, tetapi berjalan cepat diikuti Happy.

“Delapan ribu,” penjaga apotek menyodorkan satu kotak obat sakit kepala.

Happy meletakkan uang Rp 10.000 di atas meja kasir. “Terima kasih banyak,” katanya. Tetapi, Egata tidak mau beranjak dan menatapnya dengan tajam.

“Aku bisa membayar sendiri,” ujarnya.

“Oh, aku bisa melihat kamu punya banyak uang sekarang. Mungkin kamu lupa kalau kamu dilarang bawa tas mau pun dompet ke aula.”

Ah, Egata ingin sekali menepuk jidatnya sendiri sebab yang dikatakan Happy benar. Egata tidak membawa uang. Seragam ini tidak memiliki kantong sama sekali. Sekarang wajahnya terasa panas karena malu.

“Mengapa panitia membagikan seragam yang tidak punya kantong?”

Happy tertawa. dia kemudian masuk ke kantin sekolah dan membawa beberapa botol susu kaleng murni.

“Ini susu murni. Kamu pasti suka. Ibuku selalu membeli susu ini jika aku sakit. Bahkan, hingga sekarang pun masih seperti itu.”

“Aku tidak bisa…”

“Kamu harus menerimanya. Jika tidak aku tidak akan membiarkanmu masuk kamar.”

Happy menatap Egata dan berbicara dengan tenang, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Egata tidak mampu menolak. Dia menyerah dan menerima bungkusan itu. itu adalah jawaban atas ultimatum halus Happy. “ Minumlah. Itu dari peternakan sapi kita di sini.”

“Terima kasih. Aku mau masuk ke kamarku.”

Kamar Egata bukanlah istana dan bukan juga rumah orangtuanya yang semakin membesarkan sepotong rindu yang mulai menyesak di dada. Kamar itu tidak indah, tetapi Egata menganggapnya rumah. Bagaimana pun, selalu ada kelegaan dalam hatinya begitu kakinya menginjakkan kaki ke dalam kamar dan puncak kepuasan batinnya adalah ketika berhasil berbaring di atas tempat tidur. Itu terasa luar biasa! Ini seperti di rumah.

Segera setelah merebahkan diri sejenak, Egata merasa lebih baik. tangannya segera meraih ponsel. Ibu, dia ingin menelepon ibunya. Dia ingin mengatakan bahwa dia ingin pulang lalu ibu akan sangat senang.

“Ibu, aku merindukan kalian.”

“Ibu juga Gata! Apakah menyenangkan?”

Egata terdiam. Yang terlihat olehnya selama di sini adalah kesendirian, kebosanan, dan kesedihan setiap kali melihat makam. Entah apa yang dimaksud dengan keajaiban di sini. Egata sungguh percaya keajaiban. Setidaknya dulu begitu sebelum kehilangan Junior.

“Gata?”

“I…iya, Bu?”

Kali ini, ganti ibu yang terdiam. Tidak ada suara, tetapi Egata tetap menanti ibu bicara.

“Gata, apa…apakah kamu bahagia di sana? apakah kamu masih sedih? Kalau kamu tidak suka, kamu boleh pulang. Jangan pikirkan apa-apa!”

Egata merasa tidak sanggup harus membuat khawatir ibunya lagi. Egata memaksa dirinya menjawab dengan gembira, “Ibu bicara apa? Aku ke sini bukan untuk bersedih. Segala sesuatu yang ada di sini masih baru bagiku. Jika aku tidak kerasan, aku akan segera pulang, Bu! Jangan pernah mengkhawatirkan aku lagi, Bu!”

“Apa kamu sungguh-sungguh?”

“Sebentar lagi, Bu! Aku akan mencari cara ke Macazar.”

Semua ini membosankan, tetapi Egata merasa tidak boleh pulang dengan tangan kosong. Junior berjuang mati-matian memasukkannya ke kampus ini. Jadi, pasti memang dari sinilah kunci masuk ke Macazar. Ijazah! Ya, harus  memperoleh ijazah.

Egata tiba-tiba menepuk jidat. “Aku kok tidak sadar tadi ada yang aneh? Peternakan sapi? Aku tidak melihat ada peternakan sapi di sini?”

#OneDayOnePost
#EstrilookCommunity
#Day 13

0 comments:

Post a Comment

About Me

Seorang ibu muda, guru, penulis
Powered by Blogger.